Dialah 'penguasa' Pulau Jaam di Distrik Misool Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, tempat ikan hiu hidup bebas.
Namanya
Andi Dharmawan. Biasa dipanggil Cagi atau Om Cagi. Gaya bicara tegas
dan singkat. Pria ini kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, namun sejak
kecil menetap di Papua Barat. Dialah 'penguasa' Pulau Jaam di
Distrik Misool Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, tempat ikan
hiu hidup bebas, jauh dari pemburu yang memangsa.
Pulau Jaam,
salah satu pulau di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Misool
Timur Selatan, yang tak berpenghuni, masih termasuk Kampung Yellu,
Misool Selatan. Pada waktu tertentu, Cagi menetap di Jaam. Sebuah
pos patroli dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) KKPD Raja Ampat
dibangun di sana. Cagi kini menjabat kepala patroli perairan Raja Ampat
untuk Pulau Jaam dan sekitar atau kerap disebut Sektor A.
UPTD
KKPD ini baru resmi dua bulan lalu. Sebelumnya, segala urusan patroli
diurus The Nature Conservancy (TNC). Di Raja Ampat, TNC mulai masuk
2006, dengan wilayah kerja seluruh kawasan Raja Ampat bagian selatan,
mencakup Kepulauan Misool dan Kofiau. Sebelum menjadi petugas
patroli pelindung kawasan dari berbagai ancaman, Cagi dikenal sebagai
pemburu hiu andal di Kampung Yellu. Dalam seminggu bisa menangkap 20-30
hiu menggunakan peralatan rawai. Itu dulu, kini dia penjaga para hiu
ini.
Rawai ini alat pancing berupa tali yang direntangkan hingga
berpuluh-puluh meter. Pada bentangan tali datar ini dalam jarak tertentu
tali dipasang vertikal. Ujung diberi mata pancing. Satu bentangan rawai
bisa memiliki puluhan atau ratusan mata pancing. Alat yang sama juga
untuk memancing tuna. Jika beruntung, dalam semalam bisa beberapa hiu. "Rawai
dipasang sore dan diperiksa keesokan hari. Bias ada hiu memakan umpan.
Ketika ditarik sudah lemah atau bahkan mati," katanya mengenang.
Pada
masa lalu, perburuan hiu marak di perairan Raja Ampat, termasuk di
Jaam. Jaam bahkan tempat persinggahan sementara para pemburu hiu."Dulu
tempat ini selalu ramai dari pemburu hiu berbagai daerah, baik Raja
Ampat, Sorong dan malah dari kampung di Maluku dan Sulawesi."
Pemburu
hiu biasa tim kecil terdiri beberapa orang, menggunakan perahu motor
kecil. Mereka bisa berminggu-minggu di laut, hingga sebelum berangkat
segala logistik disiapkan, termasuk bahan bakar cukup. Perburuan
hiu mulai marak 1990-an. Di banding hasil laut lain, sirip ikan hiu
sangat menjanjikan. Pasar pun jelas. Di Kampung Yellu, banyak pengusaha
berizin resmi dari pemerintah. Harga sirip per kg bisa Rp2 juta
tergantung panjang pendek. Belum lagi dari kulit ataupun daging hiu
masih memiliki harga di pasaran.
"Saya pernah menangkap hiu sebesar drum dengan panjang sirip sampai 60 cm. Besar sekali," katanya. Di
perairan Jaam, ada sejumlah hiu, namun paling banyak hiu lontar
(Rhynchobatidae). Ada juga hiu endemik seperti hiu bintik. Sejenis hiu
bisa berjalan, oleh warga dikenal dengan Kalabia. Kalabia atau Freycinet's Epaulette shark (Hemiscyllium freycineti)
termasuk keluarga hiu bambu yang memiliki bentuk tubuh panjang dan
ramping dengan corak warna khas. Yaitu, warna dasar putih kecokelatan
dengan totol-totol kecil dan besar berwarna cokelat muda dan hitam.
Kalabia
termasuk hewan nocturnal atau hanya aktif di malam hari untuk mencari
makan. Di siang hari tidur di celah-celah terumbu karang. Perburuan
marak menyebabkan hiu Raja Ampat menurun drastis. Pemda Raja Ampat pun
menerbitkan larangan penangkapan hiu melalui Perda nomor 9 tahun 2012.
Ikan lain yang tak boleh ditangkap pari manta, dugong, penyu dan
sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat. Pelanggar bisa kena Sanksi
kurungan enam bulan penjara atau denda Rp50 juta.
Sejak perda ini,
aktivis perburuan hiu di sekitar Jaam turun drastis, bahkan kini hampir
tak ada. "Mungkin masih ada, tapi sembunyi-sembunyi. Kalau kedapatan,
mereka beralasan tersangkut di jaring. Secara terang-terangan sudah tak
ada. Semua izin sudah dicabut dengan πerda ini."
Menurut Cagi,
awal perda dia cukup kerepotan menangani hiu, karena sebagian pelaku
dari kampung sendiri, bahkan keluarga sendiri. Warga tak serta merta
mengetahui ataupun menerima keberadaan perda. Salah satu tugas diapun
memberi pemahaman kepada warga.
"Setelah dijelaskan aturan ini dengan baik, termasuk sanksi, mereka perlahan bisa menerima." Namun,
katanya, menghentikan total perburuan hiu sulit karena pasar masih ada.
Perdagangan gelap sirip hiu di Raja Ampat masih ada hingga kini.
"Seharusnya para pengusaha ini dihentikan. Selama mereka membeli,
penangkapan tetap ada." Dalam patroli, biasa dua kali sebulan,
masing-masing selama enam hari, Cagi menggunakan strategi khusus demi
mencegah jadwal patroli diketahui pihak lain.
"Rute patroli tidak
pernah tetap, selalu diacak atau diubah-ubah. Petugas patroli baru
mengetahui secara pasti rute di saat pertemuan di pos sebelum
berangkat." Sebagai bagian patroli, tim ini mencatat setiap
nelayan yang ditemui di lapangan. Mereka tidak hanya mencatat alat
tangkap juga jenis ikan dan jumlah.
"Ini menjadi bahan evaluasi sejauhmana upaya konservasi, apa hasil laut bertambah atau malah makin berkurang." Selain
Cagi, ada satu lagi petugas dari UPTD KKPD dan empat orang direkrut
dari warga. Mereka perwakilan kampung sekitar. Mereka biasa disebut
Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), yang memang ditempatkan di
pos-pos UPTD KKPD di beberapa lokasi di Raja Ampat.
"Berbeda dengan petugas UPTD, mereka tidak digaji rutin, hanya uang pengganti hari sesuai lama mereka ikut berpatroli." Sejak
ada perda, pengawasan perairan makin gencar. Populasi hiu sempat turun
drastis, kini meningkat tajam, termasuk di sekitar Jaam. Di Jaam,
tak sulit memancing agar hiu-hiu muncul ke permukaan. Cukup melempar
ikan atau potongan ikan segar berdarah ke pantai, hiu-hiu mulai
bermunculan. Sayangnya, sore itu Cagi tak membawa ikan segar.
"Harus ikan segar berdarah, karena hiu cepat datang jika mencium bau darah." Beruntungnya,
kami masih sempat melihat penampakan sekawanan anak hiu berenang di
sekitar pantai dangkal. Mereka tampak tak terganggu dengan keberadaan
manusia di tempat itu. "Saya punya anak, namanya Bernat, masih
tiga tahun tapi sering bermain dengan hiu-hiu itu kalau datang ke sini.
Ia suka memberi makan dan bermain bersama sekawanan anak hiu itu."
Cagi bangga dengan aktivitas sekarang."Dulu suka membantai hiu, kini saya melindungi mereka." Perairan
Jaam kaya berbagai biota laut. Selain hiu, di sini banyak ikan
napoleon, penyu bahkan lumba-lumba dan paus. Hasil riset TNC sepanjang
2006-211, menemukan, di perairan Misool ada tiga spesies paus dan tiga
spesies lumba-lumba. Dulu, di Jaam, tidak hanya marak perburuan
hiu, juga pengeboman ikan. Ini masih bisa dilihat dari banyak karang
mati pada kedalaman tertentu.
"Kalau kita menyelam terlihat masih
ada sisa terumbu karang hancur, meski kini telah tumbuh terumbu karang
baru," kata Awaluddinnoer, Koordinator Bidang Monitoring dan Evalulasi
TNC Raja Ampat. Pengeboman ikan juga menjadi polusi suara, yang
bisa menyebabkan paus mengalami kerusakan syaraf berakibat disorientasi
dan terdampar. Upaya rehabilitasi kawasan sekitar Jaam tidak hanya dengan penerbitan perda. Upaya lain, memberlakukan kawasan sebagai no take zone, berupa larangan mengambil atau menangkap ikan dan biota laut lain sepanjang radius 10 km dari kawasan itu.
Di sekitar Jaam, tak terlihat ada perahu nelayan melaut. Beberapa keramba ikan masih terpasang, meski hasil tak lagi diambil. Misool
Timur Selatan merupakan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD)
terbesar dan terletak paling selatan dari Jejaring KKPD Raja Ampat. Ia
di kawasan Segitiga Terumbu Karang, pusat keragaman hayati laut dunia.
KKPD ini terbentang 366.000 hektar, meliputi gugusan pulau-pulau
tersusun dari batuan kapur kuno dengan mosaik terusan dan danau air asin
yang masih terjaga. Terdapat 5.000 jiwa penduduk mendiami kawasan ini
dari etnis beragam.
Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/05/kenalkan-si-penjaga-hiu-di-pelosok-raja-ampat
Tidak ada komentar:
Write komentar